Konsesi Penangkapan Ikan dan Kisah Ironi yang Terus Berulang

586
Ilustrasi kapal asing. Dok. KKP

Pada pertengahan 2001, Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) mencetuskan keinginan untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus mengurangi aksi pencurian ikan oleh kapal asing. Dari keinginan tersebut munculah rencana untuk mengizinkan kapal ikan asing beroperasi di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sebelumnya, kapal ikan asing tidak pernah diizinkan menangkap ikan di seluruh perairan Indonesia.

Menurut KKP saat itu, negara mengalami kerugian antara 1,4 miliar dollar AS hingga empat miliar dollar AS akibat praktik pencurian ikan oleh kapal asing. Harapannya, daripada terus dicuri dan negara tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik dilegalkan dengan kewajiban membayar pungutan sehingga negara mendapatkan manfaatnya.

Tahun itu juga, kebijakan untuk mengizinkan beroperasinya kapal ikan asing akhirnya diterbitkan dengan pungutan sebesar 50.000 dollar AS per tahun.

Selanjutnya, pada 19 Desember 2001, terjadi penandatanganan RI-China dalam bidang perikanan dan kelautan.

Dalam kesepakatan tersebut, pengusaha China diizinkan mengoperasikan 250 kapal yang berbobot 100 gross ton (GT) per unit untuk menangkap ikan di perairan Natuna dan Laut Arafura.

Sejak itu, perlahan tapi pasti, kapal-kapal ikan asing berukuran jumbo pun tumpah ruah di seantero perairan Indonesia, dari beragam negara. Praktik main mata antara aparat dan pengusaha membuat penyelewengan dan penyalahgunaan izin penangkapan berlangsung marak. Tahun demi tahun, jumlah kapal ikan asing semakin banyak.

Invasi kapal-kapal ikan asing pun menjadi tidak terkendali. Kapal ikan asing yang legal maupun yang ilegal campur aduk dan saling berebut kekayaan laut Indonesia. Nelayan kecil makin terpinggirkan.

Menyadari kondisi yang tidak menguntungkan bagi keberlanjutan perairan Indonesia, pada 2005, KKP pun kembali melarang kapal ikan asing. Sebagai gantinya, KKP mendorong pengusaha-pengusaha ikan nasional untuk membuat kapal penangkap ikan agar kekayaan laut Indonesia tetap bisa dimanfaatkan sepeninggalnya kapal-kapal asing. Agar prosesnya bisa cepat, KKP memperbolehkan pengusaha-pengusaha ikan nasional membeli kapal-kapal asing dan menjadikannya berbendera Indonesia. Kapal-kapal tersebut kemudian dikenal dengan kapal ikan eks asing.

Pada awal-awal kebijakan tersebut diterapkan, situasi berjalan lebih baik dari sebelumnya. Namun lama kelamaan, akibat lemahnya pengawasan serta korupsi dan kongkalikong yang merajalela, penyalahgunaan izin penangkapan ikan kembali terjadi.

Ternyata sebagian besar kapal-kapal eks asing masih dimiliki dan dikendalikan oleh asing, sementara pengusaha domestik hanya menjadi kepanjangan tangan asing di Indonesia. Mereka juga melakukan praktik ilegal dengan menggandakan izin. Perubahan bendera kapal menjadi bendera Indonesia pun dilakukan hanya untuk mengelabui aparat.

Alhasil, industri penangkapan ikan Indonesia pun makin carut marut. Puncaknya, ditengarai ada sekitar 10.000 kapal asing dan eks asing berukuran raksasa yang beroperasi di perairan Indonesia. Mereka berpesta pora mengeruk kekayaan laut Nusantara, dari perairan Natuna hingga Arafura. Sementara tuan rumahnya yakni nelayan-nelayan lokal yang menggunakan kapal-kapal kecil, tak berdaya dan hanya menjadi penonton.

Akibatnya, terjadi overfishing atau penangkapan berlebih di sebagian besar perairan Indonesia. Di kawasan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timur misalnya, terjadi eksploitasi berlebihan terhadap ikan tuna, cakalang, tongkol, kembung, cumi-cumi, udang, lobster, kepiting, dan rajungan. Kondisi serupa juga terjadi di laut Jawa, sehingga ikan tuna, lobster, dan cumi-cumi makin langka ditemui di perairan tersebut.

Kapal-kapal asing dan eks asing juga menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga merusak ekosistem dan mengancam kelestarian stok ikan. Penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, unreported, unregulated/IUU fishing) berlangsung terang-terangan, menginjak- injak kedaulatan dan mengabaikan kelestarian. Laut yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan nelayan lokal, makin lama tak bisa lagi diandalkan sebagai mata pencaharian.

Ilustrasi trawl
Dok: KKP

Tangkapan nelayan lokal terus menurun akibat tak mampu bersaing dengan kapal-kapal besar milik asing. Ikan pun seolah hilang seiring rusaknya ekosistem dan terumbu karang. Berdasarkan survei BPS periode 2003 – 2013, jumlah rumah tangga nelayan turun dari 1,6 juta menjadi hanya sekitar 800.000. Selain itu, sebanyak 115 perusahaan pengolahan ikan nasional gulung tikar akibat tak mendapat pasokan ikan mengingat kapal-kapal illegal fishing langsung membawa ikan curiannya ke luar negeri.

Menurut World Bank, akibat IUU fishing, Indonesia diperkirakan merugi 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp 280 triliun per tahun.

Dengan kondisi demikian, International Union for Conservation of Nature memproyeksikan potensi tangkapan ikan di perairan Indonesia akan anjlok hingga 40 persen pada tahun 2050. Bahkan, berdasarkan kajian University of California, Santa Barbara (UCSB) dan Balitbang Kelautan dan Perikanan, jika eksploitasi berlebihan terus dibiarkan, biomassa ikan di perairan nusantara akan anjlok hingga 81 persen pada tahun 2035.

Susi membenahi

Kondisi sektor perikanan tangkap yang amburadul tersebut kemudian dibenahi Susi Pudjiastuti saat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014 – 2019.

Susi langsung menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Selama masa moratorium tersebut, Satuan Tugas Pemberantasan IUU Fishing di bawah komando Susi melakukan analisis dan evaluasi (anev) terhadap kapal-kapal eks asing termasuk memeriksa kepatuhan mereka atas peraturan yang berlaku di Indonesia.

Terdapat 1.132 kapal eks asing yang terdaftar di Indonesia, utamanya berasal dari Tiongkok (374 kapal), Thailand (280 kapal), Taiwan (216 kapal), Jepang (104 kapal), dan Filipina (98 kapal).

Hasil anev terhadap kapal-kapal eks asing yang diperiksa menunjukkan, 100 persen kapal eks asing melanggar ketentuan perundang-undangan terkait perikanan dan lainnya. Mereka terbukti melakukan tindak pidana seperti perdagangan orang, perbudakan, transhipment secara ilegal, penghindaran pembayaran pajak, korupsi, pencucian uang, transaksi BBM secara ilegal, berbendera ganda, memperkerjakan ABK asing, mark down ukuran kapal, menggunakan trawl, mematikan VMS, dan memperdagangkan species dilindungi.

Sumber: Satgas 115

Karena pelanggaran-pelanggaran tersebut, Susi pun mencabut seluruh izin kapal eks asing yang beroperasi di Nusantara. Berikutnya, investasi asing dinyatakan tertutup bagi sektor perikanan tangkap Indonesia.

Seiring berkurangnya praktik IUU fishing pada era Susi, kesejahteraan nelayan kian membaik, tercermin dari terus meningkatnya nilai tukar nelayan. Nilai tukar nelayan yang pada Januari 2015 sebesar 105,48 terus meningkat hingga menjadi 114,28 pada Oktober 2019.

Berdasarkan kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan), potensi ikan lestari di perairan Indonesia juga naik dari 7,31 juta ton menjadi 12,54 juta ton per tahun. Artinya, jika rata-rata harga ikan sekitar Rp 20.000 per kg, maka potensi tangkapan ikan di laut yang bisa dinikmati nelayan mencapai sekitar Rp 250 triliun per tahun.

Seiring itu, pertumbuhan ekonomi sektor perikanan terus melejit, bahkan selalu lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2019, pertumbuhan ekonomi sektor perikanan mencapai 5,81 persen, sementara pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,02 persen.

Ironi

Dari fakta sejarah tersebut jelaslah bahwa pemberian izin kepada asing maupun penggunaan kapal eks asing sebenarnya sama sekali tidak memberikan manfaat kepada nelayan sebagai stakeholder terpenting sektor perikanan, kepada negara, dan untuk kemajuan sektor perikanan secara keseluruhan.

Kebijakan kapal eks asing justru menjadi bom waktu yang menghancurkan sektor perikanan di kemudian hari. Mengapa? Karena kebijakan tersebut terbukti hanya menumbuhkan bisnis para mafia perikanan yang menciptakan oligarki dan sangat ekstraktif dalam menguras sumber daya laut Indonesia.

Namun ironisnya, setelah Susi tak lagi menjadi menteri, KKP anehnya menghidupkan kembali kebijakan pemberian izin kepada asing maupun penggunaan kapal eks asing di sektor penangkapan ikan.

Saat ini misalnya. Setelah melegalkan kapal eks asing, mulai 2022, KKP akan memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan, sebagai bagian dari kebijakan yang disebut sebagai “penangkapan terukur”

Dalam sistem kontrak ini, pemerintah menawarkan konsesi penangkapan ikan dengan kuota tertentu, di zona tertentu dan untuk masa waktu tertentu kepada korporasi-korporasi perikanan termasuk asing melalui lelang.

Wilayah konsesi terletak di area-area kaya ikan yakni WPP RI 716 (Laut Sulawesi), WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik), WPP RI 718 (Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian timur), WPP RI 572 (Samudera Hindia sebelah barat), WPP 573 (Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara), dan WPP RI 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan).

Tangkapan nelayan. Dok: KKP

Untuk mengoptimalkan manfaat bagi negara, KKP menerapkan sejumlah aturan main antara lain pemegang konsesi akan membayar uang kontrak yang akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi KKP; seluruh ikan hasil tangkapan harus didaratkan di pelabuhan ikan setempat; kapal ikan baik milik pengusaha domestik maupun asing wajib menggunakan ABK Indonesia; dan kapal ikan harus berbendera Indonesia.

Pada masa-masa awal, semua mungkin akan berjalan baik-baik saja dan terkesan menguntungkan bagi negara. Namun, seperti cerita sebelumnya, penyelewengan-penyelewengan akan kembali terjadi, dan akan semakin massif seiring korupsi dan kolusi yang makin menggurita.

Ujungnya, IUU fishing akan kembali merajalela dan sektor perikanan kembali terperosok. Sektor penangkapan ikan kini tak ubahnya bagai lahan tambang dan hutan yang bakal dikuras habis akibat konsesi.

Pemerintah memang telah membatasi dengan rambu-rambu. Namun, sekali lagi, berkaca dari sejarah, berbagai aturan main tersebut sama sekali tak bisa menjamin terjadinya penyelewengan seperti jual beli dan penggandaan izin, transshipment di tengah laut, penggunaan trawl, perbudakan, dan jenis IUU fishing lainnya.

Satu-satunya cara yang efektif, seperti telah dibuktikan Susi, ya larang kapal asing dan eks asing beroperasi di sektor penangkapan ikan. Biarkan nelayan dan pengusaha perikanan nasional menjadi raja di negeri sendiri. Silahkan asing berinvestasi di sektor pengolahan ikan.

Jadi, wajar muncul pertanyaan, mengapa pemerintah tak pernah belajar dari sejarah. Apakah karena cara-cara Susi yang tidak kompromi pada IUU fishing tidak memberikan keuntungan pada kelompok oligarki? Artinya, jika menerapkan kebijakan sebaliknya, maka ada cuan yang bisa diraup para oligark meskipun nelayan dan keberlanjutan sektor perikanan harus menjadi korban.

Tim Riset Maritimenews.id

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here