JAKARTA, NMN – Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hayati di ZEE, telah mengamanahkan Pemerintah untuk melakukan segala upaya dan kegiatan dalam mengarahkan dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia.
Plt. Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Kusdiantoro dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/10) mengatakan bahwa HUT KKP yang ke-22 menjadi salah satu penyemangat untuk lebih aware, untuk menyadari perlunya memprioritaskan pada keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan.
Menurutnya, pengelolaan perikanan pada wilayah ZEE memberikan pengaruh terhadap kepentingan Indonesia dalam menjaga hak berdaulat dan meningkatkan pendapatan negara.
“Upaya Indonesia dilakukan untuk memperoleh hasil yang optimal, dengan tetap menjaga keberlanjutannya dengan berdasar pada Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB). Hal ini seiring dengan kebijakan KKP untuk melakukan kebijakan penangkapan terukur,” kata Kusdiantoro.
Menurutnya, sejalan dengan pencangan Blue Economy (Ekonmi Biru), penangkapan terukur merupakan turunan dari prinsip ekonomi biru, sebagaimana yang sering disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan. Dengan penangkapan terukur ini akan mengatur zonasi tangkap ikan bagi nelayan tradisional dan industri, hingga zonasi atau tempat-tempat berpijah dan bertelurnya beberapa jenis ikan.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mencanangkan tiga program prioritas yang menjadi terobosan KKP. Salah satunya adalah peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan, melalui kebijakan penangkapan terukur, yang menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan kelestarian ekologi.
Penerapan kebijakan penangkapan terukur meliputi pengaturan area penangkapan ikan; jumlah ikan yang boleh ditangkap berdasarkan kuota volume produksi; musim penangkapan ikan, jenis alat tangkap, pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan/ pembongkaran ikan; penggunaan Anak Buah Kapal lokal; suplai pasar domestik dan ekspor ikan harus dilakukan dari pelabuhan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang ditetapkan.
Indonesia merupakan negara maritim dengan kekayaan laut yang melimpah. Luas wilayah perairan mencapai 6,4 juta km2, antara lain terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 3 juta km2 dan luas landas kontinen 2,8 juta km2, dengan panjang garis pantai 108.000 km dan jumlah pulau lebih dari 17.500. Namun demikian pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah ZEE Indonesia dirasa belum optimal. Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya untuk mengelola potensi sumber daya secara optimal dan berkelanjutan, termasuk di wilayah ZEE dan laut lepas.
Kusdiantoro menambahkan, selama ini pengelolaan sumber daya ikan selalu terkungkung hanya berorientasi dan lebih fokus pada WPNRI. Padahal, menurutnya, terdapat potensi lain yang selama ini belum banyak tergarap, yaitu high seas (laut lepas) dan ZEE, yang dapat dioptimalkan sebagai sumber ekonomi dan PNBP bagi Indonesia, disamping mengoptimalkan kegiatan penangkapan ikan di 11 WPPNRI.
Pengelolaan perikanan di laut lepas dan ZEE tersebut, menurut Kusdiantoro, harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs), yang mengikat terhadap setiap negara yang menjadi anggotanya. Berbagai aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk ketertiban dan keharmonisan antara peraturan regional dan negara-negara.