Inklusi Keuangan Lepaskan Nelayan dari Jeratan Rentenir

571

JAKARTA, NMN – Bank Dunia menyatakan bahwa inklusi keuangan merupakan kondisi dimana individu atau bisnis memiliki akses keuangan yang cukup untuk membeli barang atau jasa dengan cara yang efektif dan berkelanjutan.

Secara sederhana, inklusi keuangan menunjukkan keadaan masyarakat yang menggunakan produk layanan jasa keuangan (pinjaman,teknologi finansial,perbankan,asuransi) secara merata. Sehingga literasi keuangan memegang peranan, tanpa literasi keuangan tidak mungkin tercipta inklusi keuangan.

Indonesia hingga kini masih merupakan negara dengan potensi pada sektor perikanan dan kelautan luar biasa. Dengan luas perairan mencapai 5,7 juta kilometer persegi, potensi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai US$1,2 Triliun per tahun (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2015).

Data BPS menunjukkan 90% penduduk yang bekerja di sektor perikanan adalah nelayan. Menjadi sebuah ironi, dengan potensi sektor perikanan yang luar biasa tersebut tingkat kesejahteraan nelayan sangat jauh dari kata mapan. Bahkan, profesi nelayan menjadi sebagai salah satu profesi paling miskin di Indonesia, sebanyak 11,34% nelayan tergolong miskin, lebih tinggi dibandingkan pelayan restoran (5,56%), konstruksi bangunan (9,86%) serta pengelolaan sampah (9,62%).

Senada dengan hal tersebut, inklusi keuangan nelayan juga tertinggal jika dibandingkan dengan petani dan profesi di sektor lainnya. Banyak masyarakat/institusi di daerah pesisir yang tergolong unbanked people dan belum dapat mengakses sebagian besar layanan keuangan formal.

Perhatian bank untuk masyarakat pesisir dirasa masih kurang, padahal akses terhadap layanan keuangan sangat penting karena dapat mengurangi tingkat kemiskinan.

Untuk meningkatkan akses permodalan nelayan, pemerintah menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di sektor kelautan dan perikanan. Pada tahun 2021, penyaluran KUR sektor kelautan dan perikanan meningkat signifikan mencapai Rp8,05 triliun atau tumbuh 53,04 persen dari tahun sebelumnya.

Sedangkan hingga bulan Mei 2022, penyaluran KUR sektor kelautan dan perikanan mencapai angka Rp3,95 triliun atau meningkat 33,5 persen dari periode sama di tahun sebelumnya. Untuk tahun ini, KKP menargetkan penyaluran mencapai angka Rp8,9 triliun.

Penyaluran KUR yang tumbuh konsisten memacu pemerintah untuk meningkatkan kapasitas penyalurannya, guna mengakselerasi pertumbuhan sektor ekonomi kerakyatan, termasuk di sektor perikanan.

Meski penyaluran KUR sektor kelautan dan perikanan terus meningkat dari tahun ke tahun, patut disayangkan bahwa KUR yang telah disalurkan belum bisa melepaskan nelayan dari jeratan utang rentenir. Masih banyaknya nelayan-nelayan yang mengakses modal usaha dari para rentenir membuktikan bahwa para nelayan belum sepenuhnya bisa mengakses permodalan dari perbankan.

Melihat hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak tinggal diam. Komitmen OJK dalam meningkatkan dan mendorong inklusi keuangan diwujudkan dengan berbagai program peningkatan akses permodalan, termasuk bagi pelaku UMKM sektor kelautan dan perikanan. Salah satu program OJK dalam mendorong inklusi keuangan adalah melalui program Bulan Inklusi Keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkomitmen untuk terus melakukan percepatan perluasan akses atau inklusi keuangan masyarakat guna mendukung prioritas pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan mendorong pembangunan nasional.

Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi mengatakan OJK bersama dengan Kementerian/Lembaga beserta Lembaga Jasa Keuangan (LJK) menggelar Bulan Inklusi Keuangan (BIK) 2022 pada Oktober ini dengan tema “Inklusi Keuangan Meningkat, Perekonomian Semakin Kuat”.

Melalui kemudahan akses keuangan, lanjut Frederica, masyarakat memiliki kesempatan untuk memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan secara lebih optimal dalam merencanakan keuangannya seperti untuk menabung, mendukung kegiatan usaha, berinvestasi dan melakukan proteksi aset atau jiwanya.

Menurutnya, kegiatan tersebut juga ditujukan untuk terus meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan jasa keuangan serta mendorong akselerasi penambahan jumlah rekening tabungan,

BIK sebagai agenda nasional yang dilakukan secara berkesinambungan pada bulan Oktober setiap tahunnya, diharapkan akan semakin memperkuat komitmen dan dukungan dari seluruh stakeholders dalam rangka pemenuhan dan peningkatan akses keuangan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

“Perluasan akses keuangan di masyarakat akan membantu memperkuat perekonomian nasional.” kata Friderica.

Sejak tahun 2016, OJK menginisiasi bulan Oktober sebagai BIK yang diselenggarakan secara terintegrasi, masif, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia guna mendorong pencapaian target inklusi keuangan sebesar 90 persen pada tahun 2024 serta mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Untuk memberantas jeratan para rentenir, OJK memilik program Kredit/Pembiayaan Melawan Rentenir (K/PMR). Program ini sangat diminati masyarakat sejak peluncurannya pada 2020 lalu. Kredit ini diberikan oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) formal kepada pelaku usaha, mikro dan kecil (UMK) dengan proses cepat, mudah, dan berbiaya rendah.

Friderica mengatakan, program ini dilatarbelakangi oleh maraknya praktik penawaran kredit atau pembiayaan yang dilakukan entitas ilegal seperti rentenir dan pinjaman online ilegal. Di kuartal II 2022, realisasi penyaluran K/PMR sudah mencapai Rp 4,4 triliun.

“Hadirnya K/PMR bertujuan mengurangi ketergantungan atau pengaruh dari entitas illegal. Telah diimplementasikan di 76 (Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah) TPAKD dengan 337.940 debitur dan nominal penyaluran sebesar Rp 4,4 triliun (di kuartal II 2022),” ujar Friderica.

Frederica menyebutkan bahwa sejauh ini program K/PMR pernah diberikan untuk sektor pertanian dan pariwisata. “Penyaluran akan diberikan untuk sektor nelayan ke depannya,” pungkas Frederica.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here