Penurunan Emisi Karbon di Sektor Maritim

804
Foto: Istimewa

JAKARTA, NMN – Mengingat posisi penting Indonesia secara geografis dalam global ocean conveyor belt (thermohaline circulation), negara kepulauan terbesar dan hutan hujan tropisnya yang kaya akan keanekaragaman hayati, tingginya cadangan nilai karbon dan sumber daya energi dan mineral, Indonesia dikenal akan perannya dalam upaya menghadapi perubahan iklim.

Namun, Indonesia juga rentan terhadap bencana alam yang akan diperparah dengan terjadinya perubahan iklim, terutama di daerah dataran rendah di seluruh nusantara. Oleh karena itu Indonesia memandang bahwa upaya komprehensif adaptasi dan mitigasi berbasis lahan dan laut sebagai sebuah pertimbangan strategi dalam mencapai ketahanan iklim terkait pangan, air dan energi.

Pasca-2020, Indonesia menegaskan memenuhi komitmen pada 2030 sesuai Perjanjian Paris, yaitu pengurangan emisi sebesar 29%. Komitmen tersebut disampaikan pada COP-21 tahun 2015, Pemerintah Indonesia janji menurunkan emisi dari tahun 2020-2030 sebesar 29% (unconditional) hingga 41% (conditional) dengan skenario business as usual tahun 2030, peningkatan komitmen tanpa syarat dibandingkan tahun 2010 sebesar 26%.

Berbagai langkah terus dilakukan pemerintah dalam memenuhi komitmen tersebut. Sektor kemaritiman pun menjadi bagian dalam pemenuhan target penurunan emis karbon. Di laut, upaya yang dijalankan adalah dengan menetapkan pelabuhan sebagai salah satu pemeran utama untuk menurunkan emisi, melalui penerapan pelabuhan ramah lingkungan (green port).

Pelibatan pelabuhan dilakukan, karena lautan Indonesia juga ikut menyumbangkan produksi emisi karbon melalui aktivitas pelayaran dari kapal-kapal kargo ataupun perikanan yang melintas di perairan Indonesia.

Ada tiga perairan utama yang menjadi produsen karbon di Indonesia, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Ketiganya menjadi jalur utama rute pelayaran kapal-kapal dunia. Untuk itu, Indonesia menetapkan penggunaan bahan bakar rendah sulfur yang harus dikonsumsi oleh kapal-kapal tersebut.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) Basilio Dias Araujo mengatakan bahwa pihaknya terus mengawal upaya transisi penggunaan bahan bakar nol karbon di berbagai kegiatan pelayaran dan memastikan kesiapan pelabuhan-pelabuhan strategis Indonesia untuk transisi menjadi “Green Port”.

“Kita terus (upayakan) penuhi komitmen Indonesia,” tegas Basilio baru-baru ini.

Basilio mengungkapkan, Indonesia telah memperbarui Nationally Determined Contributions (NDC) pada Juli 2021. Terkait isu Dekarbonisasi Pelayaran, NDC Indonesia mencatat kontribusi 19% Emisi CO2 berasal dari pelayaran di Indonesia. “Emisi ini berasal dari jumlah dan jenis kapal yang dimiliki Indonesia.” terang Deputi Basilio.

Menurutnya, Indonesia memiliki 39.510 kapal kargo dan 171.754 kapal penangkap ikan yang terdaftar di database nasional. Sebagian besar kapal Kargo Indonesia dan kapal penangkap ikan berukuran kecil. Angka armada Indonesia terlalu kecil jika dibandingkan dengan 2,1 miliar DWT armada dunia yang tercatat dalam UNTACD Handbook of Statistics tahun 2020.

”Sekitar 200.000 armada dunia ini berlayar diantara tiga selat strategis Indonesia yaitu Selat Malaka (130.000/tahun), Selat Sunda (56.000/tahun) dan Selat Lombok (33.000/tahun). Ini menghasilkan jutaan ton CO2 yang dikeluarkan oleh armada-armada tersebut saat melewati perairan Indonesia,” jelas Deputi Basilio.

Lebih jauh, dia menyampaikan, bahwa terlepas dari kontribusi jutaan ton atau bahkan giga ton emisi karbon dari kapal yang melintasi perairan Indonesia, Indonesia sebagai Negara Pesisir dan negara kepulauan terbesar di dunia tetap melakukan tugasnya.

“Perusahaan Minyak Nasional kami mulai memproduksi Low Sulphur Marine Fuel Oil atau LS MFO untuk bahan bakar armada nasional kami. Kami bahkan mulai menyediakan LS MFO untuk pelayaran Internasional dengan peluncuran di salah satu Pelabuhan Kargo Curah di Krakatau Internasional Port (KIP) pada Agustus 2021. Pertamina Indonesia sedang mempersiapkan empat terminal LS MFO di Selat Malaka untuk melayani armada laut Internasional. Kami berharap dapat memiliki mitra internasional untuk bekerja sama dengan kami untuk membangun lebih banyak kilang guna menyediakan LS MFO untuk pelayaran global di Selat strategis kami. Di tingkat nasional, Indonesia juga kini memperkenalkan B20 dan B30 untuk transportasi darat dan udara,” kata Deputi Basilio.

Ia menambahkan, Pemerintah Indonesia juga akan mengubah penggunaan bahan bakar minyak menjadi bahan bakar gas (BBG) untuk kapal-kapal kecil. Program ini untuk nelayan dengan kapal penangkap ikan 7.812 metrik ton. Kami juga sekarang memperkenalkan Tenaga Surya Atap untuk dipasang di semua pelabuhan kami untuk menyediakan energi hijau di pelabuhan kami,” lanjut Deputi Basilio.

Deputi Basilio yakin Indonesia mampu wujudkan komitmennya, namun perlu kerja sama kolektif dan kolaboratif dari semua pemangku kepentingan di sektor maritim dan energi di dalam negeri, maupun organisasi internasional seperti IMO, UNCTAD, dan World Bank.

“Saya harap IMO dapat membantu upaya kita promosikan teknologi rendah karbon. IMO bisa berikan fasilitasi kemitraan publik-swasta dan pertukaran informasi, transfer teknologi, pembangunan kapasitas SDM maritim, kerjasama teknis, dan berbagai program untuk tingkatkan efisiensi energi di kapal dan kegiatan pelayaran,” kata Deputi Basilio.

Menurutnya, IMO mestinya juga dapat membantu pendanaan dan teknologi inovasi termasuk pengembangan kapasitas. Ini adalah salah satu langkah untuk implementasikan Strategi IMO melalui ITCP dan inisiatif lainnya termasuk proyek GloMEEP dan jaringan MTCC,” jelas Deputi Basilio.

Sejak 1 Januari 2020, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa setiap kapal baik kapal berbendera Indonesia maupun kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur senilai maksimal 0,5 % m/m atau dikenal dengan IMO 2020.

Ada empat rujukan IMO 2020 tersebut, yaitu: (1) International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL Convention) Annex VI Regulation 14; (2) IMO Resolution Marine Environment Protection Committee (MEPC) 307(73): 2018 Guidelines for the Discharge of Exhaust Gas Recirculation (EGR) Bleed-Off Water; (3) Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, dan (4) Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor UM.003/93/14/DJPL-18 tanggal 30 Oktober 2018 tentang Batasan Kandungan Sulfur Pada Bahan Bakar dan Kewajiban Penyampaian Konsumsi Bahan Bakar di Kapal.

Dengan adanya aturan-aturan tersebut maka Kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang akan menggunakan bahan bakar tersebut agar melakukan pembersihan tangki bahan bakar, sistem perpipaan dan perlengkapan lainnya yang terkait untuk memastikan kebersihan dari sisa atau endapan bahan bakar sebelumnya (bahan bakar dengan kandungan sulfur lebih besar dari 0,5 % m/m) dan mengembangkan rencana penerapan di kapal (ship implementation plan) sesuai pedoman IMO MEPC.1/Circ.878.

Kemudian, kapal berbendera Indonesia yang masih menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur lebih besar dari 0,5 % m/m, agar dilengkapi dengan Sistem Pembersih Gas Buang (Exhaust Gas Cleaning System) dengan jenis yang disetujui oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut.

Sementara itu, kapal berbendera Indonesia yang berlayar Internasional dilarang mengangkut atau membawa bahan bakar dengan kandungan sulfur lebih besar dari 0,5 % m/m untuk sistem propulsi/ penggerak atau bahan bakar untuk operasi peralatan lainnya di atas kapal mulai tanggal 1 Maret 2020 dan larangan ini tidak berlaku untuk kapal yang menggunakan metode alternatif misalnya menggunakan sistem pembersihan gas buang yang disetujui berdasarkan peraturan 4.1 Annex VI Konvensi MARPOL.

Adapun kapal berbendera Indonesia yang berlayar Internasional yang menggunakan Sistem Pembersihan Gas Buang (Exhaust Gas Cleaning System/ Scrubber) tipe open loop untuk Resirkulasi Gas Buang (Exhaust Gas Recirculation/ EGR) agar memperhatikan ketentuan di negara tujuan dikarenakan beberapa negara telah melarang penggunaan Sistem Pembersihan Gas Buang (Exhaust Gas Cleaning System/ Scrubber) tipe open loop dimana pembuangan limbah hasil resirkulasi sistem gas buang dari mesin di kapal untuk dibuang secara langsung diperairan negaranya dan melainkan harus disimpan dalam tangki penampung di atas kapal untuk selanjutnya dibuang melalui fasilitas penerima (reception facility) yang tersedia di pelabuhan.

Untuk kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang akan menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 0,5% m/m, bahan bakar dimaksud tersedia di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta atau di Floating Storage Teluk Balikpapan atau pelabuhan lainnya yang sudah menyediakan mulai tanggal 1 Januari 2020.

Sekretaris Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Budhi Halim mengatakan kapal-kapal Indonesia, baik yang berlayar di perairan internasional maupun dalam negeri, akan menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 0,5 persen mass by mass(m/m), sesuai Marine Pollution (Marpol) Convention Annex VI Regulasi 14.

Sebagai alternatif, kapal tetap dapat menggunakan bahan bakar dengan sulfur di atas 0,5 persen, tetapi wajib memasang exhaust gas cleaning system atau scrubber.

“Indonesia sudah meratifikasi dan konsisten dalam menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan konvensi internasional. Itu berlaku untuk seluruhnya [kapal yang berlayar di perairan internasional maupun perairan Indonesia],” kata Budi Halim.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here