JAKARTA, NMN – Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tahun 2019 mencatat, biaya logistik di Indonesia masih tergolong mahal yaitu mencapai 23,5% dari produk domestik bruto (PDB).
Dari persentase tersebut terdapat rincian yaitu 8,9% biaya inventori, 8,5% transportasi darat, 2,8% laut, 2,7% administrasi, dan 0,8% biaya lainnya.
Sekretariat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menemukan fakta kawasan pelabuhan menjadi salah satu faktor pemicu tingginya biaya logistik.
Laporan Pelaksanaan Stranas PK Triwulan I/2021-2022 menyebutkan bahwa indikator Pemangkasan birokrasi dan peningkatan layanan di kawasan pelabuhan progresnya 0%. Artinya, terdapat indikator penurunan biaya dan waktu logistik yang belum ada progresnya.
Sedangkan dalam Laporan Pelaksanaan Stranas PK Triwulan II/2021-2022 disebutkan indikator Pemangkasan birokrasi dan peningkatan layanan di kawasan pelabuhan progresnya sudah mencapai 13%. Artinya, ada sejumlah perbaikan yang telah dilakukan untuk meningkatkan pelayanan di kawasan pelabuhan.
Dalam kajian periode 2021-2022 itu, menurut Stranas PK, faktor birokrasi dan layanan di pelabuhan laut yang tidak terintegrasi dan tumpang tindih, termasuk banyaknya instansi pemerintah yang terlibat serta rendahnya koordinasi menjadikan biaya logistik di Indonesia masih tergolong tinggi.
Melihat biaya logistik yang masih tergolong tinggi, tentunya pemerintah tidak tinggal diam begitu saja. Kementerian Perhubungan bersama pemangku kepentingan terkait terus berupaya menekan biaya logistik nasional.
Setijadi selaku Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) dalam kajiannya menyebutkan bahwa perlu sebuah paradigma baru untuk membenahi tingginya biaya logistik.
“Dengan paradigma baru, infrastruktur dibangun untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di wilayah baru. Walaupun pada saat ini belum dibutuhkan sepenuhnya, infrastruktur di daerah 3T harus segera direncanakan dan dibangun berdasarkan analisis potensi wilayah,” kata Setijadi.
Di samping penting untuk kemajuan wilayahnya, lanjut Setijadi, pertumbuhan ekonomi di wilayah baru juga akan meningkatkan keseimbangan muatan antar wilayah yang berpotensi menurunkan biaya transportasi dan logistik.
“Ketidakseimbangan muatan antar wilayah ini merupakan salah satu penyebab biaya logistik yang tinggi karena penggunaan kapasitas armada pengangkut yang rendah dari wilayah yang volume muatannya rendah berdampak terhadap biaya pengangkutan secara keseluruhan,” ujarnya.
Menurut Setijadi, revitalisasi sarana-prasarana pelabuhan perlu untuk meningkatkan penanganan dan kecepatan bongkar-muat, termasuk penambahan fasilitas plugging yang masih terbatas.
Direktur Utama Pelindo Arif Suhartono mengungkapkan, belum optimalnya rantai logistik Indonesia dipengaruhi oleh beberapa pemain yang terlibat dalam industri logistik. Isu utamanya terkait rendahnya kinerja pelabuhan lantaran ketidakcukupan infrastruktur dan suprastruktur pelabuhan, serta belum efisiennya service level pelabuhan.
“Satu hal yang penting lagi, di sini imbalance kargo itu luar biasa. Dari barat ke timur penuh, tetapi dari timur ke barat sedikit sekali. Ini yang perlu kita pikirkan bersama dan perlu kolaborasi bersama, bahwa salah satu untuk memperbaiki biaya logistik adalah bagaimana meningkatkan kegiatan ekonomi di wilayah timur, sehingga kargo ke barat bisa isi, tidak satu sisi saja. Sebab kalau satu sisi, artinya shipper dari barat harus menanggung balikan dari kontainer tersebut,” kata Arif Suhartono dalam sebuah webinar beberapa hari lalu.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sempat mengatakan bahwa penggabungan Pelindo yang sudah dilakukan, menjadi salah satu upaya yang dapat menurunkan biaya logistik nasional dan memperbaiki Indeks Logistik Nasional.
“Penggabungan ini diharapkan dapat meningkatkan reputasi pelabuhan Indonesia di kancah Internasional, efisiensi lalu lintas barang antar pulau, peningkatan produktifitas dan efisiensi,” kata Menhub.
Menhub menjelaskan, beberapa upaya yang telah dilakukan Kemenhub untuk menurunkan biaya logistik, yaitu: pertama, menetapkan arah kebijakan pembangunan bidang transportasi laut tahun 2020-2024 untuk mendukung konektivitas maritim nasional.
Kedua, menerapkan Konsep Hub and Spoke pada pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk menunjang program Tol Laut dengan harapan distribusi barang dan pengembangan ekonomi di daerah Terluar, Tertinggal, Terdepan dan Perbatasan (3TP) dapat lebih optimal.
Ketiga, berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga melalui pembentukan National Logistic Ecosystem (NLE), sehingga proses logistik menjadi lebih efisien dan terintegrasi.
Keempat, digitalisasi layanan kepelabuhanan, baik itu digitalisasi perizinan, pelayanan, seperti: SIMLALA, SITOLAUT, dan Inaportnet, yang telah dimanfaatkan oleh 54 pelabuhan.
Lebih lanjut Menhub menjelaskan, saat ini terdapat 636 pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan laut. Ditambah dengan 57 terminal yang merupakan bagian dari pelabuhan, serta 1.321 rencana lokasi pelabuhan.
“Kami terus berupaya untuk menurunkan waktu dwelling time, meningkatkan standarisasi kinerja dan juga melakukan pengelolaan pelabuhan secara terpadu,” kata Menhub.
Pelabuhan tentunya memiliki fungsi vital dalam aspek ekonomi di Indonesia. Sayangnya, operasional pelabuhan di Indonesia masih boros biaya. Akibatnya biaya logistik menjadi sangat mahal sehingga daya saing nasional sulit beranjak naik.
Sebagai sebuah negara kepulauan dengan segala potensi dan tantangannya, pembentukan holding pelabuhan harus diikuti dengan kebijakan yang mampu memangkas mata rantai birokrasi yang selama ini menciptakan ekonomi biaya tinggi. Efisiensi logistik ini akan mendorong percepatan pemulihan ekonomi.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan, kemampuan mengatasi biaya logistik sangat berpengaruh dalam meningkatkan daya saing Indonesia sebagai negara.
Melaui merger Pelindo yang resmi dilaksanakan pada 1 Oktober 2021, diharapkan dapat mengakselerasi pengembangan industri pelabuhan nasional untuk efisiensi biaya logistik nasional. Selain itu, penggabungan Pelindo juga akan memberikan manfaat lain seperti pengembangan jaringan pelayanan terintegrasi, peningkatan kapasitas pelabuhan dan peningkatan standarisasi operasional, serta peningkatan akses dan kedalaman kolam pelabuhan.
“Penggabungan Pelindo akan mempermudah koordinasi dengan satu pengelola pelabuhan seluruh Indonesia, meningkatkan kontribusi kepada pendapatan negara melalui dividen dan pajak sejalan dengan meningkatnya profitabilitas, serta penurunan biaya logistik bagi masyarakat,” kata Erick.
Melalui merger ini, lanjut Erick, Pelindo akan menjadi operator terminal petikemas terbesar ke-8 di dunia dengan total throughput peti kemas sebesar 16,7 juta TEUs, serta menjadi salah satu major player pelabuhan dunia dengan total aset gabungan menjadi Rp 112 triliun.