Cantrang Alat Tangkap Ramah Lingkungan?

1295

Oleh: Dr Suradi W*

Kesepatakan antara pemerintah dan nelayan cantrang, 17 Januari 2018 memang cukup melegakan, tapi masih menyisakan banyak hal.

Ada beberapa substansi penting dari proses dialog cantrang sampai dengan tercapainya kesepakatan tersebut, yang perlu digarisbawahi.

Pertama, kesepakatan yang disampaikan presiden Jokowi, adalah Alat tangkap cantrang masih diberikan waktu untuk melakukan penangkapan ikan sampai masalah pergantian cantrang dengan alat tangkap yang ramah lingkungan selesai, dan tidak ada batas waktu.

Artinya, proses pergantian alat tangkap harus terus berjalan, tetapi tidak dipatok waktu. Semua masalah terkait dengan proses pergantian harus diselesaikan.

Kedua, oleh karenanya, MenKP menegaskan, Selama masa transisi pergantian alat tangkap cantrang ke alat tangkap ikan lain yang ramah lingkungan, harus ada niat dari nelayan untuk mengganti alat tangkap cantrang tersebut, tidak ada lagi kapal ilegal (tanpa ijin), tidak punya ukuran, markdown (pengecilan ukuran kapal) dan penambahan kapal cantrang (ijin baru).

Ketiga, pergantian alat tangkap akan didampingi dan difasilitasi oleh pemerintah (Kementerian KKP), termasuk mereka yang mengalami masalah perbankan (kredit macet), akan dibantu/ difasilitasi akses ke perbankan.

Keempat, fishing ground (daerah tangkapan ikan) untuk kapal cantrang (yang berasal dari Pantura) adalah Laut Jawa (WPP 712). Hal ini untuk meminimalkan potensi terjadinya konflik dengan nelayan tradisional daerah lain non pengguna jaring hela dan tarik, sebagaimana dulu terjadi pada kapal trawl dan purse seine.

Kelima, perdebatan cantrang, terkait dengan apakah alat tersebut ramah lingkungan atau tidak, sulit menemukan titik temu, antara pemilik cantrang dan pendukungnya, dan pemerintah serta nelayan pengguna alat tangkap diluar jaring hela dan tarik, dikarenakan perbedaan indikator penilaian.

Sebenarnya, untuk menentukan apakah suatu alat tangkap dapat disebut sebagai alat ramah lingkungan atau tidak, ada 9 (sembilan) kriteria dari FAO yang dapat dijadikan rujukan dan panduan yaitu:
1) memiliki selektifitas tinggi. Artinya, ukuran yang tertangkap memiliki kisaran ukuran tertentu, dimana pada ukuran tersebut, 50% dari hasil tangkapannya sudah pernah memijah.

Dengan demikian regenerasi terjamin dan stok sumberdaya ikan dapat lestari. Implikasinya usaha penangkapan dapat terus berlanjut.

Kalau kita cermati hasil tangkapan Cantrang, tidak selektif, artinya semua ukuran ikan, yang berada dalam wilayah sapuan jaring cantrang akan tertangkap.

2) by catch rendah; artinya, ikan yang menjadi sasaran utama harus tinggi. Jadi tidak hanya ukurannya, selektifitas juga seharusnya terjadi pada jenis yang tertangkap;
Hasil kajian WWF-Indonesia menyebutkan bahwa hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan Trawl dan Cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, 60-82% adalah tangkapan sampingan (bycatch) atau tidak dimanfaatkan (discard), sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati. Penelitian A. Caherudin (2006) komposisi hasil tangkapan Mini Trawl di Cirebon yaitu 1:15 antara tangkapan utama dan tangkapan sampingan.

Kemudian penelitian Y. Aidy (2003) di Demak menemukan bahwa hasil tangkapan Cantrang terdiri dari 62,40% ikan rucah yang tidak bernilai ekonomis, penelitian I.N. Aji (2013) menemukan hasil tangkapan cantrang di Tuban 67% bycatch.

3) hasil tangkapan berkualitas tinggi. Artinya, hasil tangkapan tidak rusak, sehingga nilai ekonominya tinggi. Sebagian besar hasil tangkapan alat tangkap jaring hela dan tarik yang berupa by catch yang jumlahnya sangat besar itu, hanya sebagai pakan ternak itik.

4) tidak merusak habitat; artinya, habitat tempat pemijahan (spawning), perlindungan/asuhan (nursery) maupun tempat ikan mencari makan (feeding) tidak terganggu.

Memperhatikan daerah penangkapan cantrang, maka habitat yang paling berpotensi terganggu adalah spawning ground dari berbagai jenis krustasea dan ikan, yang memijah di dasar perairan berpasir atau pasir berlumpur. Sebagian besar udang penaeid yang ekonomis penting, kepiting dan rajungan memijah di dasar perairan perbatasan onshore – offshore yang berdasar pasir atau pasir berlumpur.

5) mempertahankan keanekaragaman hayati; artinya, alat tersebut mampu menghindari dari menangkap ikan-ikan yang terancam punah. Alat tangkap cantrang menangkap seluruh jenis ikan yang ada dalam cakupan sapuannya.

6) tidak menangkap spesies yg dilindungi; artinya, alat tersebut mampu menghindari dari menangkap ikan-ikan yang dilindungi. Penjelasannya sama dengan poin 5.

7) pengoperasian alat tidak membahayakan keselamatan; baik keselamatan penggunanya maupun orang lain. Poin ini tidak masalah, dapat terpenuhi, apalagi setelah daya penarik manusia diganti dengan tenaga mesin.

8) tidak melakukan penangkapan di daerah terlarang. Sejauh ini dapat dipahami bahwa cantrang tidak melakukan penangkapan di daerah terlarang. Hal ini karena daerah-daerah spawning ground belum dapat dipetakan dengan baik dan belum menjadi daerah larangan dengan aturan yang jelas.

9) diterima secara sosial. Artinya, alat tangkap tersebut tidak mengganggu dan merugikan kelompok nelayan pengguna alat tangkap lainnya, sehingga tidak menimbulkan konflik sosial. Belajar dari sejarah penggunaan alat tangkap terdahulu, seperti trawl dan purse seine, dan memperhatikan perkembangan teknologi penangkapan cantrang, maka sangat potensial menimbulkan konflik. Masih segar dalam ingatan, bahwa trawl pada masa lalu, pada awalnya berukuran kecil dan one day fishing.

Sejalan dengan menurunnya hasil tangkapan, maka kemudian berkembang dan berkembang ukurannya, dan daerah penangkapannya terus bergerak semakin jauh dari fishing base-nya. Menimbulkan konflik sosial dengan nelayan tradisional dan menggunakan alat tangkap raramah lingkungan.

Purse seine pada awalnya berskala usaha kecil, kemudian berkembang seiring dengan menurunnya hasil tangkapan, menjadi besar, dan akhirnya konflik dimana-mana dengan nelayan lokal, dan usahanyapun menjadi kurang ekonomis, sehingga secara alamiah armada berkurang.

Keenam, masa paling sulit nagi nelayan pengguna alat tangkap jaring hela (trawl) dan jaring tarik (termasuk cantrang) adalah pada masa transisi, apalagi masa transisi yang tidak dibatasi waktunya.

Penggunaan alat tangkap ramah lingkungan seperti gilinet, trammel net dan pancing serta trap (masing-masing dengan berbagai variannya) saat sekarang di daerah penangkapan eks jaring hela dan tarik, hampir dapat dipastikan akan rendah produksinya.

Untuk tercapainya keseimbangan baru, dimana usaha penangkapan menggunakan alat ramah lingkungan kembali menjadi usaha yang menguntungkan, membutuhkan waktu transisi, yang lamanya relatif, tergantung ikan target. Hal ini disebabkan oleh karena:

a. Penggunaan alat tangkap jaring hela dan tarik (termasuk cantrang) telah banyak menangkap ikan2 muda yang belum matang gonad, sehingga saat ini ketersediaan induk siap memijah diduga sangat terbatas jumlahnya (yang lolos dari berbagai jaring hela dan tarik).

b. Ikan / krustasea muda yang saat sekarang lolos dari berbagai jaring hela dan tarik, untuk menjadi ikan/ krustasea layak tangkap membutuhkan waktu antara 3 bulan lebih (tergantung spesies target). Hasil penelitian Saputra(2017) udang penaeid pada umumnya tertangkap dengan ukuran size lebih dari 300 (1 kg isi 350 ekor), membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk menjadi zise 80 (tertangkap trammel net).

Dan pada saat itu hasil tangkapan belum banyak, sehingga nelayan belum untung. Pada periode ini merupakan masa transisi yang paling kritis bagi nelayan. Pada periode ini, pemikiran pemberian subsidi bagi nelayan kecil yang sepenuhnya hidup dari hasil penangkapan ikan, menjadi sangat logis.

c. Pada masa transisi kedua, dengan semakin banyaknya udang/ikan yang lolos dari jaring/pancing, yang memudian tumbuh menjadi besar dan induk, maka pada periode-periode penangkapan selanjutnya jumlah stok udang dewasa yang layak tangkap akan terus meningkat, sehingga usaha akan semakin menguntungkan.

Ketujuh, pada masa selanjutnya, perlu dilakukan pengelolaan yang lebih baik, dengan membatasi jumlah alat dan dimensi alat (ukuran jaring dan mesh size) yang diperbolehkan beroperasi pada setiap wilayah perikanan Indonesia, dengan pengawasan yang memadai.

Kedelapan, penetapan dan pembatasan tersebut harus didukung data yang baik, dari suatu kerja pendataan dan penelitian yang baik. Lembaga penelitian dalam lingkup KKP dan perguruan tinggi harus dimaksimalkan sejak awal, dengan arah penelitian yang mendukung manajemen perikanan.

Kesembilan, manajemen perikanan tidak mempertentangkan antara kelestarian sumberdaya dan kesejahteraan nelayan. Upaya pelestarian sumberdaya ikan justru akan meningkatkan kesejahteraan nelayan dan berjangka panjang (berkelanjutan). Pemanenan selektif hasilnya akan jauh lebih besar dibandingkan pemanenan non selektif.

* Penulis merupakan Wakil Dekan FPIK Undip sekaligus Dewan Penasehat Keluarga Alumni Perikanan Undip (KERAPU)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here