JAKARTA, NMN – Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya potensi maritim. Sumber daya dan potensi maritim tersebut apabila dikembangkan secara optimal, maka industri maritim dapat menghasilkan keuntungan bagi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir Indonesia.
Ekonomi laut yang berkelanjutan sangat penting bagi Indonesia untuk mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, lingkungan laut yang sehat, dan perekonomian nasional yang berkembang.
Peran laut sangatlah penting bagi kesejahteraan Indonesia, dengan sektor perikanan senilai 27 miliar dollar AS, menghidupi 7 juta tenaga kerja, dan mememenuhi lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani di Indonesia.
Namun, terdapat tantangan bagi ekosistem laut dan pesisir, yang apabila tidak dikelola secara berkelanjutan, dapat mengurangi potensi ekonomi laut Indonesia.
Bank Dunia mencatat, sekitar 38 persen dari ikan ditangkap melebihi kemampuan ekosistem untuk mengembalikan jumlahnya (overfishing), sekitar sepertiga dari terumbu karang yang berharga bagi Indonesia berada dalam kondisi kurang baik, ekosistem pesisir yang penting, seperti mangrove, mengalami pengurangan yang besar.
Di sisi lain, sampah laut menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia senilai lebih dari USD 450 juta setiap tahunnya. Beberapa destinasi wisata laut dan pesisir juga telah menunjukkan dampak dari pengunjung yang terlalu padat dan belum memiliki infrastuktur dasar yang memadai.
“Pemerintah Indonesia saat ini tengah menempuh berbagai kebijakan menuju strategi ekonomi biru untuk meningkatkan tata kelola ekosistem laut dan pesisir, mencapai peluang ekonomi yang setara, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Menteri Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Ekonomi biru menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial sembari menjaga kelestarian ekosistem laut dalam jangka panjang. Dengan kata lain, ekonomi biru adalah ekonomi laut yang berkelanjutan. Ekonomi biru membutuhkan pembuatan kebijakan berbasis sains dan data, koordinasi antar sektor, dan partisipasi berbagai pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan.
Pembangunan berbasis kelautan dan transisi menuju ekonomi biru menjadi prioritas Pemerintah Indonesia. Target khusus yang diselaraskan dengan prinsip ekonomi biru telah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Kebijakan Kelautan 2017, dan berbagai inisiatif yang sedang dijalankan.
Salah satu contoh adalah sikap tegas Pemerintah Indonesia terhadap kapal asing yang melakukan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU).
Walaupun kebijakan ini dipandang kontroversial dari berbagai sudut, upaya ini berhasil mengurangi tekanan terhadap stok ikan akibat penangkapan oleh kapal asing, serta menciptakan peluang jangka pendek untuk membangun kembali Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) utama.
Pengelolaan aset laut dan pesisir yang berkelanjutan sangat penting untuk ekonomi laut yang sejahtera. Akan tetapi, kualitas dan luas ekosistem pesisir Indonesia mengalami penurunan, kondisi ini berdampak negatif terhadap kemampuan ekosistem untuk menyediakan layanan dasar.
Survei terbaru yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan (LIPI 2020). Faktor yang mendorong kerusakan ini antara lain perubahan iklim yang memperparah pemutihan terumbu karang.
Faktor-faktor lain adalah praktik penangkapan ikan yang merusak lingkungan, limbah pertanian dan perkotaan, dan pencemaran plastik di laut. Mangrove juga mengalami kehilangan yang cukup signifikan, sekitar 1,82 juta dari 3,31 juta hektare mangrove di Indonesia saat ini berada dalam kondisi terdegradasi.
Kehilangan mangrove didorong oleh pembangunan wilayah pesisir, hampir setengah dari penebangan mangrove disebabkan oleh pembukaan lahan untuk kegiatan budi daya.
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo) sempat mengatakan bahwa penting bagi Indonesia untuk membangun Ekonomi Biru dari pinggiran (kepulauan dan pesisir).
Rokhmin mengungkapkan, potensi Blue Economy Indonesia sangat besar. Total potensi 11 sektor Blue Economy Indonesia adalah 1,348 triliun dolar AS/tahun atau lima kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = 190 miliar dolar AS) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. “Blue Economy Indonesia bisa menyediakan lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 40 persen total angkatan kerja Indonesia,” tuturnya.
Bank Dunia merekomendasikan, untuk mendukung sektor perikanan yang berkelanjutan dan produktif, pemerintah dapat menerapkan sistem Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia dan memperkuat area taman laut yang terus berkembang, dengan memanfaatkan potensi dukungan dari dana abadi nasional dan kemitraan dengan sektor swasta.
Kemudian, memperluas moratorium alih fungsi hutan primer hingga meliputi seluruh ekosistem mangrove dapat mencegah kerusakan mangrove, serta mendukung sasaran restorasi mangrove yang ada saat ini.
Sebagai bahan informasi berbagai investasi dan kebijakan nasional, serta agar Indonesia dapat memanfaatkan peluang keuangan biru, maka pemerintah dapat melanjutkan upaya untuk meningkatkan data dan penghitungan jasa ekosistem, seperti potensi karbon yang tersimpan, habitat bagi keanekaragaman hayati, dan perlindungan dari badai.
Lalu, untuk memperkuat strategi ekonomi biru dan memanfaatkan secara utuh potensi ekonomi lautnya, Indonesia dapat memperkuat koordinasi lintas-sektor melalui Sustainable Oceans Platform tingkat tinggi. Dengan pendekatan ini, berbagai lembaga pemerintah dan para pelaku non-pemerintah diajak turut serta mengambil bagian dalam koordinasi perencanaan dan implementasi kebijakan, memantau kemajuan, serta pertukaran pengetahuan maupun praktik-praktik terbaik di lintas-sektor kelautan.