JAKARTA, NMN – Sebuah analisis yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika Serika (AS) terhadap data satelit pertama dalam kurun waktu 25 tahun, didapati kesimpulan bahwa tingkat kenaikan permukaan air laut global mengalami percepatan seiring dengan mencairnya lapisan es di Antartika dan Greenland. Dari sebuah analisis terhadap data satelit pertama dalam kurun waktu 25 tahun, didapati kesimpulan bahwa tingkat kenaikan permukaan air laut global mengalami percepatan seiring dengan mencairnya lapisan es di Antartika dan Greenland.
Dari penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika Serika (AS) itu telah menghitung tingkat kenaikan permukaan laut global rata-rata sebesar 3 mm per tahun. Namun juga telah mengalami tambahan kenakan setinggi 0,08 mm per tahun, yang terjadi setiap tahun sejak 1993. Jika tingkat perubahan ini terus berlanjut, kenaikan permukaan air laut global rata-rata akan meningkat 61 sentimeter antara sekarang hingga tahun 2100.
Arsitek sekaligus dosen jurusan Aristektur Universitas Palangkaraya Wijanarka kepada Nusantara Maritime News disela-sela acara Jakarta Architecture Triennale (JAT) 2018 di Gedung Sopo del Tower, Jakarta, Rabu (12/12) mengatakan bahwa peningkatan permukaan air laut memang sudah terjadi. Hal ini tentunya perlu diantisipasi, khususnya bagi mereka yang tinggal di wilayah pesisir.
“Masyarakat perkotaan juga perlu mengantisipasi hal ini, dengan meningkatnya permukaan air laut, tentunya kan mengancam pemukiman diperkotaan,” kata Wijanarka.
Menurutnya, pembangunan rumah apung menjadi hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya permukaan air laut, tapi tentu saja pembangunan rumah apung itu harus memperhatikan kondisi daerahnya.
“Ya pada intinya, kalau ingin mengapungkan rumah itu harus melihat kondisi airnya, ada gelombang atau tidak, ada arus atau tidak, tentu perlu diperhatikan akan hal itu. kaitannya dengan materi saya itu kan ada kaitannya dengan dampak kenaikan muka air laut. Nah, memang perlu dikaji juga, apakah dampak, apakah di suatu daerah itu harus mutlak rumah terapung kan bisa awalnya dengan mendirikan rumah bertiang dulu, atau rumah amphibi, baru rumah terapung,” katanya.
Menurutnya, jika dampak kenaikan permukaan air laut, banjirnya hanya sekitar 1 meter dan setahun cuma seminggu, mungkin rumah amphibi tidak terlalu efektif, yang lebih efekif justru rumah bertiang. Kalau banjirnya itu sering, dan naiknya itu bisa sampai 2 meteran lebih mungkin itu perlu rumah amphibi.
“Kalau memang daerahnya sudah berair semua, dimana rumah bertiang sudah tidak memungkinkan, rumah amphibi juga sudah tidak memungkinkan, nah ini perlu suatu inovasi baru, yakni rumah terapung. jadi, memang harus terlebih dahulu melihat kondisinya,” ujarnya.
Ditambahkannya, sebetulnya rumah terapung itu seperti caravan, jadi rumah terapung itu juga harus seperti bertambat seperti perahu. Tentunya, kalau ingin mengembangkan rumah terapung di sungai tentunya itu juga mesti diatur nengenai izin mengapungkan rumah di sungai.
Berkaitan dengan pembangunan rumah apung, lanjutnya, perlu juga diperhatikan gelombang airnya. “Belanda sudah mulai melakukannya, disana laju kenaikan air lautnya tinggi, jadi mereka sudah berpikir untuk pindah ke floating city, floating architecture,” ungkapnya.
Di wilayah pesisir, untuk memulai rumah terapung mungkin bisa dimulai dari membangun rumah untuk kawasan wisata. “Jadi orang bisa merasakan, oh rumah terapung seperti ini ya, ini karena kita juga kan pola pikirnya rumah masih menapak di tanah,” katanya.
Menurutnya, beberapa negara sudah memulai memikirkan untuk membangun kota apung di lautan, daratan dibiarkan saja untuk dijadikan lahan perkebunan, pertanian , dan sebagainya, nanti penduduk bermukim di laut. “Dari pada daratannya yang subur jadi rusak karena dibangun gedung-gedung atau rumah – rumah, kenapa tidak mencoba hal seperti ini, membuat kota terapung,” pungkasnya.