Biaya Logistik dan Dwelling Time

1213
Biaya logistik di Indonesia merupakan salah satu yang termahal di dunia. Saat ini biaya logistik nasional mencapai 25 persen Produk Domestik Bruto, sementara negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, biaya logistiknya hanya berkisar 5 – 10 persen.

Berdasarkan Indeks Kerja Logistik yang dirilis Bank Dunia tahun 2014, Indonesia berada di peringkat ke-53 dunia. Adapun Thailand berada di urutan ke-38, Malaysia ke-29, dan Singapura di tempat pertama. Presiden Joko Widodo pernah mengatakan, kerugian akibat inefisiensi terkait logistik tersebut bisa mencapai Rp 780 triliun per tahun.

Banyak faktor yang menyebabkan biaya logistik di Indonesia amat mahal. Sejumlah faktor utama antara lain infrastruktur transportasi yang kurang memadai, kesenjangan pembangunan antar daerah, birokrasi yang berbelit, dan manajemen yang tidak efisien.

Salah satu persoalan yang tengah hangat dibicarakan belakangan ini terkait biaya logistik adalah dwelling time atau Waktu bongkar peti kemas dari kapal hingga keluar pelabuhan. Dwelling time di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia.

Di pelabuhan Tanjung Priok misalnya, kontainer atau peti kemas butuh 3-25 hari untuk keluar dari pelabuhan dengan rata-rata 5,59 hari. Bandingkan dengan Thailand dan Malaysia yang hanya 4-5 hari. Singapura jangan ditanya karena hanya 1-1,5 hari.

Lamanya dwelling time jelas sangat merugikan perekonomian. Yang paling jelas adalah harga barang di tingkat konsumen menjadi mahal karena harus menanggung biaya efisiensi akibat dwelling time. Padahal, hampir seluruh barang impor didatangkan melalui pelabuhan laut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor Indonesia tahun 2013 sebesar 141,11 juta ton.

Dwelling time dipengaruhi banyak hal antara lain pemeriksaan oleh bea dan cukai, kelengkapan dokumen perizinan, koordinasi antara instansi di pelabuhan, dan infrastruktur pengelolaan sistem dwelling. Dalam dwelling time, terdapat tiga tahapan proses yang disebut pre-custom, custom, dan post-custom.

Lamanya dwelling time di Indonesia salah satunya disebabkan oleh birokrasi perizinan impor yang berbelit. Terdapat sebanyak 18 Kementerian/Lembaga yang harus dimintakan izin untuk mendatangkan barang impor.

Faktor lainnnya adanya permainan dari pengelola terminal peti kemas, pengelola pelabuhan, eksportir, importir, dan broker untuk memperpanjang dwelling time. Jadi justru ada yang senang jika dwelling time menjadi panjang. Sebab, dengan dwelling time yang dipatok lama, maka pelabuhan bisa dipakai sebagai tempat penimbunan barang. Padahal pelabuhan seharusnya adalah tempat bongkar muat barang.

Koordinasi antara instansi-instansi yang ada di pelabuhan juga buruk. Apalagi, saat ini terdapat 13 tempat penimbunan sementara di Tanjung Priok yang dikelola oleh entitas atau investor yang berbeda-beda. Konsekuensinya, petugas bea cukai tidak hanya berhubungan dengan pengelola pelabuhan Tanjung Priok saja, tetapi juga harus melayani 13 entitas lainnya. Terlebih lagi, Pindah kontainer dari satu TPS ke TPS lain itu juga membutuhkan biaya.

Untuk mengefisienkan kerja dan mempersingkat dwelling time, seharusnya seluruh kegiatan dikelola satu entitas saja yakni Pelabuhan Tanjung Priok seperti halnya pelabuhan-pelabuhan di luar negeri.

Dwelling time yang lama juga disumbangkan oleh oleh pengusaha bongkar muat yang berasal dari luar Tanjung Priok. Ini kerap terjadi tatkala kontainer harus diperiksa oleh bea cukai, orang-orang bongkar muat tersebut tidak ada karena tidak tercapainya kesepakatan dengan importir. Akibatnya, kontainer harus dipindahkan ke tempat TPS yang lain.

Karena itu merupakan kebijakan yang tepat ketika Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri Badrotin Haiti untuk menangani perbuatan-perbuatan oknum yang membuat dwelling time menjadi lama. Untuk menangani kasus ini, Polda Metro jaya yang didukung penuh Bareskrim Polri membentuk Satuan Tugas Khusus yang dikepalai AKBP Hengki haryadi selaku Kapolres Tanjung Priok dan disupervisi oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Kombes Mujiono dan Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Krishna Murti.

Terbukti, dalam proses penanganannya, Satgas khusus menemukan adanya praktik suap dan gratifikasi terkait perizinan impor.

sejauh ini, polisi telah menetapkan enam tersangka kasus dwelling time termasuk mantan Direktur Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan.

Kita berharap kasus ini dapat dituntaskan sepenuhnya oleh kepolisian agar dwelling time menjadi lebih singkat dan ujungnya biaya logistik nasional dapat dikurangi.

Kita juga berharap Bea dan Cukai dapat meningkatkan kinerjanya dalam menyelesaikan pengecekan kepabeanan. Pelindo juga harus dapat mengelola sistem dwelling secara baik dengan dukungan infrastruktur yang memadai. Jika ada pengusaha yang mengimpor barang tanpa izin, sita saja barangnya dan blacklist pengusahanya. Tindak tegas agar pengelolaan pelabuhan semakin baik.

Jika dwelling time dapat dibenahi dan perlahan-lahan infrastruktur transportasi dapat ditingkatkan, target pemerintah untuk menurunkan rasio biaya logistik menjadi 19,2 persen pada lima tahun ke depan tentu bukanlah angan-angan belaka.

 

Tim Maritimnews

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here