Konektivitas Membaik, Disparitas Harga Makin Berkurang

213
Foto: Humas Laut

JAKARTA, NMN – Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, Pemerintah terus membangun dan mengembangkan sejumlah pelabuhan untuk memperlancar konektivitas tol laut. Hasilnya, kinerja tol laut terus menunjukkan peningkatan, baik berupa peningkatan trayek, total pelabuhan yang disinggahi, kapasitas daya angkut kapal, maupun jumlah muatan.

Tol laut adalah koneksitas laut dengan kapal-kapal besar dari Barat ke Timur, semua menghubungkan Indonesia secara cepat. Permasalahan bangsa selama ini yang sering sekali diangkat isunya adalah Pembangunan di Negeri ini yang tidak merata. Ada wilayah yang begitu tinggi tingkat kemajuan perekonomiannya dan ada daerah-daerah yang sangat tertinggal.

Penyebab terjadinya ketidakmerataaan pembangunan adalah karena negara ini merupakan Negara kepulauan dimana jarak antara satu pulau ke pulaunya sangat jauh. Biaya transportasi sangat tinggi. Inilah yang menyebabkan harga-harga barang atau harga-harga komoditi antara satu pulau dan pulau lainnya menjadi berbeda jauh.

Seperti semen di Jawa Rp. 60.000-Rp70.000 per sak di pedalaman Papua bisa Rp1 juta-Rp1,5 juta per sak. Kondisi tersebut dinilai sebagai praktik ketidakadilan akibat sistem logistik yang perlu perbaikan.

Tentu saja, selain bertujuan untuk distribusi barang, tol laut itu menjadi sarana pendorong konektivitas (hubungan) antar pulau di Indonesia. Ini satu isu penting lainnya, dalam membaca wilayah Indonesia sebagai kesatuan antar pulau, sekaligus dorong dampak rente ekonominya. Hubungan antar pulau yang lancer juga akan dorong orang saling berkunjung untuk berwisata.

Sejak diluncurkan pada 20 Oktober 2014, program tol lautt terus mengalami peningkatan dan perkembangan, baik dari segi trayek, jumlah pelabuhan yang disinggahi, kapasitas daya angkut kapal, serta volume muatan. Program Tol Laut kini telah melayani 32 trayek dan mengoperasikan 32 kapal yang menyinggahi 114 pelabuhan, termasuk trayek Provinsi Papua dan Papua Barat.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Arif Toha menyebutkan berdasarkan hasil evaluasi semester I 2021 Program Tol Laut telah mengangkut muatan berangkat sebanyak 6.617 Teus (satuan kontainer) dengan komoditas muatan terbanyak berupa semen, beras, dan air mineral. Adapun muatan balik sebanyak 2.542 Teus dengan komoditas muatan terbanyak berupa kayu, kopra, dan rumput laut dengan capaian voyage (perjalanan bolak-balik) 54 persen dibandingkan 2020.

“Kinerja Tol Laut tahun ini lebih efektif dibandingkan tahun lalu. Ini semua dapat terwujud berkat upaya seluruh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Unit Penyelenggara Teknis, dan Operator dalam melakukan sosialisasi serta memberi pendampingan kepada pelaku usaha yang terlibat,” ujarnya.

Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) menilai muatan balik kapal tol laut hingga saat ini masih menjadi tantangan bagi pengusaha angkutan barang ke daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan (3TP).

Muatan balik membuat operasional dari angkutan barang tersebut tidak seimbang. Saat ini masalah muatan balik yang paling besar dirasakan oleh industri angkutan adalah di wilayah Indonesia timur.

“Ketidakseimbangan muatan balik tersebut mengakibatkan biaya operasional transportasi laut menjadi tidak efisien,” ujar Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, masyarakat di daerah yang dilewati Trayek Tol Laut saat ini sudah menikmati penurunan harga barang antara 20– 50 persen. Data tersebut menunjukkan Program Tol Laut berhasil mengurangi disparitas harga yang selama ini menjerat masyarakat, terutama di wilayah Indonesia Timur serta Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan.

Sementara itu, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut, Mugen Sartoto menyampaikan, Kementerian Perhubungan telah melakukan inovasi dan terobosan dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional, salah satunya dengan membuat pola perdagangan baru dari Wilayah Pusat Pangan Baru (food estate), seperti Merauke, ke wilayah lain di Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Menurutnya, untuk mewujudkan program ketahanan pangan, Kementerian Perhubungan berupaya mengakomodasi kebutuhan masyarakat melalui layanan transportasi laut untuk angkutan barang dengan rute yang tetap dan terjadwal, sehingga kebutuhan barang pokok dan barang penting masyarakat tersedia.

“Program Tol Laut ini juga diharapkan dapat meningkatkan distribusi dan menjaga ketersediaan barang kebutuhan pokok, barang penting, dan barang lainnya dengan biaya pengiriman logistik yang lebih murah sehingga mengurangi disparitas harga,” ujar Mugen.

Mugen menyatakan, Kementerian Perhubungan telah melaksanakan konektivitas multimoda dalam mengakomodasi pola perdagangan baru yang muncul dengan melibatkan ‘jembatan udara’ dan subsidi angkutan darat. Targetnya ialah masyarakat di wilayah pegunungan Papua dapat memesan bahan pokok dari Surabaya dan diterima langsung di wilayah pegunungan Papua.

Dukungan dari sisi regulasi juga terus ditempuh. Dia menuturkan, demi kelancaran pendistribusian logistik pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar dan Perbatasan. Perpres itu mendukung optimalisasi kinerja Kapal Tol Laut di pelabuhan dan pengawasan barang dari pelabuhan bongkar sampai hinterland (wilayah di sekitar pelabuhan).

Setijadi selaku Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) mengatakan infrastruktur merupakan salah satu pilar penting peningkatan efisiensi logistik nasional. Salah satu pemicu biaya logistik yang tinggi adalah masalah penyebaran infrastruktur yang tidak merata antar wilayah.

Membangun dari pinggiran penting untuk meningkatkan keseimbangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah. Pada tahun 2020, distribusi Produk Domestik Bruto masih didominasi wilayah Jawa (58,75 persen) dan Sumatera (21,36 persen). Empat wilayah lainnya masih harus ditingkatkan kontribusinya, yaitu Kalimantan (7,94 persen), Sulawesi (6,66 persen), Bali-Nusa Tenggara (2,94 persen), dan Papua (2,35 persen).

Peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) memerlukan perubahan paradigma dari ship follow the trade menjadi ship promote the trade. Jika mengikuti paradigma lama, infrastruktur dikembangkan mengikuti pertumbuhan industri dan perdagangan.

“Dengan paradigma baru, infrastruktur dibangun untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di wilayah baru. Walaupun pada saat ini belum dibutuhkan sepenuhnya, infrastruktur di daerah 3T harus segera direncanakan dan dibangun berdasarkan analisis potensi wilayah,” kata Setijadi.

Di samping penting untuk kemajuan wilayahnya, lanjut Setijadi, pertumbuhan ekonomi di wilayah baru juga akan meningkatkan keseimbangan muatan antar wilayah yang berpotensi menurunkan biaya transportasi dan logistik. Ketidakseimbangan muatan antar wilayah ini merupakan salah satu penyebab biaya logistik yang tinggi karena penggunaan kapasitas armada pengangkut yang rendah dari wilayah yang volume muatannya rendah berdampak terhadap biaya pengangkutan secara keseluruhan.

Setijadi menjelaskan, revitalisasi sarana-prasarana pelabuhan perlu untuk meningkatkan penanganan dan kecepatan bongkar-muat, termasuk penambahan fasilitas plugging yang masih terbatas. Untuk peningkatan ekspor hasil kelautan dan perikanan, diperlukan pengembangan pelabuhan dan bandara sebagai gateway ekspor.

“Pembangunan infrastruktur juga perlu untuk mengoptimalkan integrasi program, termasuk antara program SKPT dan Tol Laut dari Kementerian Perhubungan. Program Tol Laut dapat mendukung penerapan paradigma ship promote the trade dengan mengangkut juga barang modal dan bahan baku untuk industri di wilayah baru,” pungkas Setijadi.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here